Menari...
Hanya itu yang diinginkan oleh Cantika Mentari. Cuma satu hal itu yang ingin dilakukannya di sisa waktunya yang semakin menipis. Dokter memvonis bahwa waktunya tinggal 1 bulan. 1 bulan untuk menghirup oksigen di dunia ini. 1 bulan untuk tertawa bersama sahabat-sahabatnya. 1 bulan untuk menari.... dan yang diinginkannya bukan sekadar menari....
Sebelum aku bercerita lebih jauh, aku perkenalkan dulu siapa Cantika Mentari ini. Dia adalah sahabatku. Aku biasa memanggilnya dengan nama Mentari. Umurnya 19 tahun. Sahabatku ini dikaruniai wajah yang cantik, tubuh yang bagus, dan bakat menari yang sangat menakjubkan. Sayangnya, selama ini Mentari menggunakan bakatnya itu untuk menghangatkan malam di sejumlah tempat clubbing.
Aku mengenalnya karena dulu dia pernah pacaran dengan temanku. Saat putus, dia sempat curhat denganku dan akhirnya kita malah jadi sahabat. Karena dia sering curhat, aku jadi tau kehidupan pribadinya.
Mentari adalah putri dari seorang wanita tuna susila- bahkan dia juga wanita seperti itu. Dia nggak pernah tau siapa ayah biologisnya. Sejak kecil dia dibesarkan di wilayah lokalisasi. Sex, obat-obatan terlarang, dan kekerasan sudah akrab dengannya sejak dulu. Aku sering berusaha mengajaknya ke gereja agar dia mengenal Tuhan, tapi Mentari selalu menolaknya.
Setahun yang lalu, Mentari menghilang. Aku benar-benar lost contact dengannya. Beberapa temannya yang kukenal tidak ada yang tau di mana dia berada. Setelah beberapa bulan mencarinya, akhirnya aku menyerah dan hanya membawa dia dalam doa-doaku tiap pagi.
Hingga seminggu yang lalu, seseorang mengetuk pintu rumahku. Dia, Mentari, datang lagi ke hadapanku setelah setahun menghilang. Tapi penampilannya kini telah berubah. Jika dulu dia memiliki tubuh yang indah, kini dia lebih terlihat seperti tulang berjalan. Matanya cekung dan menghitam. Rambutnya yang lebat sekarang menipis.
“Kamu... kamu kenapa, Mentari?”
Dia tersenyum sendu. Lalu dia menceritakan apa yang terjadi padanya tahun lalu. Ternyata, dia divonis oleh dokter bahwa dia positif terkena AIDS dan umurnya mungkin tidak panjang lagi. Mentari memutuskan untuk pergi hingga akhirnya pagi ini dia kembali lagi ke sini.
“Bisa temani aku ke gereja?” pinta Mentari di akhir ceritanya.
Aku langsung mengangguk dan menghapus air mataku. Kebetulan hari itu hari Minggu. Sore harinya, kami berdua langsung pergi ke gerejaku. Mentari tampak bersemangat sepulang dari gereja. Seperti ada sinar kehidupan yang terpancar lagi di kedua matanya.
“Ternyata ke gereja itu ngebuat perasaan jadi enak ya. Seperti... seperti ada suatu beban di hati yang keangkat”, ujar Mentari sambil tersenyum lebar.
Melihatnya tersenyum benar-benar membuatku bahagia. Aku sudah lama tidak melihat senyumannya. Mentari bersenandung kecil, menyenandungkan sepenggal dari lagu yang tadi dinyanyikan di gereja. Mendadak dia berhenti dan mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
“Eh, mungkin nggak ya, aku menari di..... gerejamu?”
************************************************************************************
Aku menatap pendeta Johan dengan jengkel. Beliau masih juga kukuh dengan pendiriannya. Aku benar-benar nggak tau lagi gimana harus mengubah pikiran beliau.
“Pak, benar-benar tidak bisa ya?” tanyaku lagi
“Iya. Saya kan sudah bilang dari awal”
Sudah dua minggu ini aku berusaha meyakinkan pendeta Johan agar mengizinkan Mentari menari di gereja. Sayangnya, beliau mengatakan “tidak” dari pertama kali dengan alasan-alasan yang menurutku tidak masuk akal.
“Tapi, kenapa Pak?”
“Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, gereja memiliki peraturan bahwa siapa pun yang mengambil bagian dalam pelayanan di mimbar harus sudah baptis dan aktif dalam kegiatan gereja minimal selama 3 bulan. Saya rasa worship leader seperti anda mengerti hal seperti itu”
“Tapi Pak, ini permintaan dari seseorang yang mungkin hidupnya udah nggak lama lagi...”, pintaku.
Pendeta Johan terdiam dan menatap ke bawah. Aku sudah ditolak berkali-kali oleh beliau, tapi kata-kata Mentari membuatku terus semangat untuk berusaha mendapatkan kata “ya” dari pendeta Johan.
“Aku udah diberi talenta menari oleh Tuhan, tapi aku nggak pernah menggunakannya buat Tuhan. Karena itu, aku pengen sekaliiii aja bisa menari buat Dia di gereja”
Itu yang diucapkan oleh Mentari. Aku benar-benar tersentuh dengan perkataannya. Sayang, pendeta Johan masih belum menurunkan izin. Padahal, Mentari sudah semakin melemah, bahkan saat ini dia sedang dirawat di rumah sakit.
“Sebenarnya, saya berat untuk memberi izin karena dia adalah seorang PSK”, kata pendeta Johan memecah kesunyian.
“Hah?! Pak, dia sudah berhenti dari pekerjaannya! Lagipula, dia benar-benar ingin menari buat Tuhan, pak.... buat Tuhan.... Sebagai seorang WL, saya tahu dia mempunyai hati yang benar-benar tulus ingin melayani Tuhan”
Beliau hanya diam, seolah menganggap perkataanku hanya angin lalu. Aku benar-benar terkejut dengan pendeta Johan. Nggak pernah kusangka dia punya pemikiran seperti itu
“Bapak ingin menghalangi seseorang yang begitu ingin mempersembahkan sesuatu untuk Tuhan?” lanjutku.
Masih tak ada jawaban. Pendeta Johan tetap terdiam.
************************************************************************************
“Mentari, udah siap? Klo udah,doa bareng dulu bareng yang lain yuk”
Mentari tersenyum dan mengikutiku ke tempat pemusik dan singer berkumpul. Mentari akhirnya diizinkan menari di gereja. Perjuanganku ternyata nggak sia-sia. Pendeta Johan yang terhormat menurunkan izinnya. Mentari diizinkan menari setelah khotbah selesai. Aku dan teman-teman petugas mimbar yang lain langsung blingsatan menyunsun jadwal latihan untuk Mentari. Secara ajaib, kesehatan Mentari membaik dan dia memaksa para dokter agar diperbolehkan pulang. Tapi dia tetap tidak boleh pulang. Dokter hanya mengizinkan Mentari meninggalkan rumah sakit untuk latihan dan menari di hari H-nya.
Karena izin keluar yang terbatas, kami hanya sempat latihan bersama satu kali. Tapi yang satu kali itu sudah cukup untuk membuat teman-teman gerejaku jadi bersimpati dan kagum padanya. Bukan hanya karena bakatnya, tapi juga karena hatinya benar-benar tulus mau menari buat Tuhan
Kami berdoa bersama. Setelah berdoa, aku mengantar dia duduk di bangku bagian depan dan kembali lagi ke mimbar karena aku yang menjadi WL minggu ini. Rasanya agak grogi juga jadi WL di depan Mentari.
Dua jam berlalu. Pendeta sudah mengakhiri khotbahnya. Akhirnya tiba juga saatnya Mentari menari. Menari untuk Tuhan yang menciptakannya. Mentari maju ke mimbar dan meminjam microphone yang kupegang.
“Shalom, saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan. Saya akan mempersembahkan sebuah tarian. Ngg... sebelumnya mungkin saudara-saudara mayoritas tidak mengenal saya, jadi, saya akan memperkenalkan diri saya sedikit”, kata Mentari sambil tersenyum.
“Nama saya Cantika Mentari . Saya biasa dipanggil Mentari. Dulu, saya adalah seorang sexy dancer sekaligus seorang..... wanita tuna susila. Sampai setahun yang lalu saya divonis menderita sebuah penyakit yang hingga sekarang belum ada obatnya”
Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Aku tau Mentari adalah seorang wanita yang sering bicara blak-blakan, tapi aku tidak pernah menyangka dia akan mengatakan semua itu di depan jemaat yang jumlahnya nggak sedikit ini. Sejenak aku mengira jemaat akan bereaksi heboh, tapi ternyata tidak. Mereka tetap diam dan mendengarkan dia.
“Sejak mengetahui bahwa saya menderita penyakit itu, saya jadi ingin melakukan yang terbaik untuk Tuhan. Memang sih, saya sedikit terlambat karena baru menyadarinya setelah sakit. Tapi, better late than never kan? Semoga tarian saya bisa menjadi berkat bagi saudara-saudara. Terima kasih.”
Mentari mengakhiri perkenalan singkatnya dan mengembalikan microphone. Terdengar jemaat bertepuk tangan untuknya. Mentari tersenyum dan berjalan ke tengah mimbar. Aku terharu menatap sosoknya yang kini terlihat rapuh itu bersiap untuk menari.
Pemain musik memainkan intro. Badan Mentari mulai bergerak seirama dengan musik yang lembut. Aku membuka mulut dan menyanyi mengiringinya tariannya.
Yesus, kurindu akan kasihMu
Yesus, kuhaus akan firmanMu
Kaulah Allahku dan pemberi berkatku
Puji syukur
Mentari menari dengan sangat indah. Jemaat terpukau, tak berkedip melihat tariannya. Seolah ada semacam sinar yang melingkupi Mentari. Pandanganku mulai buram. Aku menyanyikan refrain dengan suara yang sedikit bergetar karena terharu melihat seseorang begitu bersungguh-sungguh yang menggunakan tubuh rapuhnya untuk menari.
FirmanMu sungguh indah
FirmanMu tak berubah
Dulu skarang, sampai selamanya
Gerakan Mentari melambat. Wajahnya terlihat semakin pucat. Aku mati-matian menahan diriku untuk tidak mendekatinya dan berhenti menyanyi karena dia memintaku untuk menyelesaikan lagunya apapun yang terjadi.
dan kasihMu tak terbatas
Abadi selamanya
Mentari mendadak bersimpuh. Itu tidak ada dalam koreografi tariannya. Aku tau tubuhnya melemah. Aku menyanyikan bait terakhir dengan air mata mengalir
Terima kasih, Yesus Kristus Tuhan
Lagu berakhir....
Dan Mentari tidak pernah membuka mata lagi
Mentari menari....
untuk Tuhan....
di surga
The Motivator
11 tahun yang lalu
0 comments:
Posting Komentar