Minggu, 06 Juni 2010

Biarkan Kursi Itu Kosong

“Raniiiiii!!!! Lama-lama aku ngikat kamu pake tali, trus aku tarik lho!”
“Hah? Emang kenapa?”
“Kamu jalannya lelet banget! Cepetan dikit”
“Yee... Kamu jalan duluan aja, Ann. Ntar aku ikutin dari belakang”
“Nggak mau, aku nggak suka kalau kamu jalan di belakangku. Kayak pembantu aja. Jalan di sebelahku dong, kita kan teman”


Kenangan yang kembali muncul membuat air mataku merebak dan menetes membasahi buku catatan biologi yang kubuka asal-asalan di atas meja. Alice, cewek yang duduk di depanku, menarik kursinya ke arahku. Dia mengeluarkan sekotak tisu dan meletakkannya di depanku tanpa ngomong apa-apa.

“Thanks ya, Lis”

Alice mengangguk dan mengusap kepalaku. Beberapa teman berhenti dengerin penjelasan Bu Eka dan ngeliat ke arahku. Bu Eka yang biasanya suka ngambek kalo penjelasannya nggak didengerin kali ini diem aja.

“Ran, aku duduk di situ ya?” tanya Alice sambil menunjuk ke kursi kosong di sebelahku.
“Jangan Lis. Biakan kursi itu tetep kosong”
“Oke.... Jangan sedih terus, Ran. Anne pasti nggak mau liat kamu sedih terus”
“Iya. Sekali lagi, thanks ya”

Alice tersenyum lembut dan kembali memperhatikan Bu Eka. Aku mencoba untuk berkonsentrasi pada pelajaran yang diberikan Bu Eka, tapi tetep aja nggak bisa. Suara Bu Eka malah lama-lama terdengar menjauh.

Hmph.... Emangnya sejak kapan sih apa pernah memperhatikan apa yang dijelasin sama Bu Eka? Aku melirik sekilas ke kursi kosong di sebelahku. Dulu, aku selalu mengganggu orang yang duduk di situ saat pelajaran. Dulu, aku dan pemilik kursi itu nyaris selalu kena marah dari para guru gara-gara ribut sendiri dan nggak ngedengerin penjelasan guru. Pemilik kursi itu juga pernah panik setengah mati saat
asmaku kambuh di kelas.

Sayangnya, dia nggak akan pernah datang ke sekolah lagi. Selamanya aku nggak akan pernah denger suaranya yang biasanya mampu nenangin aku kalo aku lagi ada masalah. Dia.... sudah beda dunia sama aku.

“Rani, Edvanne Hartono itu bukannya teman kamu yang sering main ke sini?” tanya Mama.
“Iya. Kenapa Ma?”


Aku berjalan mendekati Mama yang lagi baca koran di ruang tamu. Beliau mengulurkan koran yang tadi dibacanya kepadaku. Aku melihat koran itu sekilas tanpa berminat buat ngebaca. Sebuah foto di pojok kanan menarik perhatianku. Foto Anne.

“Telah pulang ke rumah Bapa di Surga dengan tenang pada hari Sabtu, 13 Februari 2010 jam 22.45. Anak, Saudari, dan Cucu kami yang tercinta : EDVANNE HARTONO”

Detik berikutnya, tanganku menjadi lemas.. Koran yang kupegang terlepas jatuh ke lantai. Mama yang ngeliat aku kayak gitu langsung memegangi tubuhku dan mendudukkanku di atas sofa.

“Nggak... Ini nggak mungkin... Anne nggak mungkin udah...”

Aku mulai menangis, berharap ini semua cuma mimpi buruk. Ya.... aku harap ini semua cuma mimpi. Saat bangun nanti, aku akan ketemu Anne di sekolah dan semua akan baik-baik aja.....


***********************************************************************************



BRUKK

Suara benda yang dilemparkan di atas meja mengagetkanku yang lagi tenggelam dalam kenangan tentang Anne. Merasa terganggu, aku melihat ke sebelah kananku dengan sedikit cemberut.

“Apa-apaan sih Christ?!”

Christ cuma nyengir dan mengambil tas yang tadi dilemparkannya. Lalu dia duduk di atas kursi Anne yang sengaja kukosongkan tanpa meduliin tampangku yang udah tambah lecek.

“Christ, minggir”, desisku.
“Nggak mau. Kenapa harus minggir?”
“Jangan duduk di situ”
“Kenapa? Ini kan bukan kursimu”

Cowok sialan bernama Christ itu tetep cuek dan duduk di kursi Anne. Aku terpaksa diam dan menahan diri buat nggak memaki-maki Christ karena guru udah datang. Aku nggak mau kena marah cuma gara-gara cowok sialan ini.

Seisi kelas juga udah tau kalo aku minta supaya kursi Anne dibiarkan kosong. Semua memenuhi permintaanku, kecuali si Christ. Aku mengeluarkan buku pelajaran dan meletakkannya di atas meja. Well, lebih tepatnya membanting sih. Christ nggak bereaksi dan tetep ngerjain latihan dari buku paket. Aku cuma menyalin ulang soal karena otakku masih blank.

“Kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini, Ran. Dia udah nggak ada. Kamu harus nerima kenyataan itu”

Aku terkesiap mendengar kata-kata Christ. Apa-apaan sih cowok ini? Udah lancang duduk di kursi Anne, eh sekarang dia malah ngomong hal-hal yang nggak jelas.

“Maksudmu apa sih?”
“Kamu nggak bisa ngosongin kursi Anne tiap hari. Selamanya dia nggak akan sekolah bareng kita lagi. Dia udah nggak ada, Ran. Aku tau itu berat, tapi kamu harus belajar nerima kenyataan”

Skakmat. Aku nggak bisa ngomong apa-apa. Jujur, aku cukup terkejut karena Christ tau alasanku ngosongin kursi Anne. Aku masih berharap suatu saat nanti Anne akan datang ke sekolah dan duduk di sebelahku lagi.

Aku membiarkan Christ duduk di sebelahku di sepanjang sisa hari itu. Christ nggak ngomong apa-apa lagi dan membiarkanku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Akhirnya, bel tanda pulang berbunyi dan semua bersiap untuk pulang. Christ membereskan buku-bukunya. Aku masih mematung di kursi, sama sekali nggak beres-beres kayak yang lain

“Aku harap semua ini cuma mimpi, Christ”, gumamku.

Christ berhenti sejenak dan menatapku. Aku menunduk, berusaha menghindari pandangan mata Christ.

“Anne adalah orang pertama yang mengatakan kata “teman” padaku. Dia itu teman pertamaku, nggak, dia satu-satunya temanku. Sekarang dia udah nggak ada. Aku sendirian lagi... Kalian nggak tau gimana rasanya kehilangan dia”

Aku kembali menangis. Dulu kukira kematian satu orang yang kukenal tidak akan membuat dampak besar dalam hidupku. Hanya akan membuatku sedih untuk waktu yang singkat. Udah, itu aja. Tapi ternyata nggak begitu. Udah dua bulan sejak kecelakaan yang merenggut nyala Anne, tapi rasanya ada sesuatu yang kosong di hatiku. Tempat yang dulunya diisi oleh Anne.

“Ssshhh... Tapi sebenernya temanmu bukan cuma Anne, Ran”

Christ maju selangkah dan mengangkat wajahku dengan kedua tangannya. Mata coklatnya menatap tepat ke dalam mataku. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar jenaka itu kini menatapku dengan lembut. Cengiran konyol yang selalu terpasang di bibirnya kini digantikan dengan seulas senyum yang menenangkan.

“Ran, temanmu bukan cuma Anne. Coba kamu lihat sekelilingmu”, kata Christ lembut.

Dengan pandangan yang masih sedikit buram karena air mata, aku melihat Alice, Elisa, Jonathan, dan tema-teman sekelas mengitari kami. Beberapa menatapku dengan sedih. Alice dan Elisa bahkan menangis. Ya ampun... Ternyata mereka semua belum pulang. Aku jadi sedikit malu gara-gara mereka ngeliat aku nangis.

“Lihat? Kami semua teman-temanmu, Ran”, ujar Christ sambil tersenyum.
“Kami juga ngerasa kehilangan Anne, Ran. Bukan cuma kamu”, kata Alice, masih dengan air mata mengalir di pipinya.
“Ran, tolong jangan terus tenggelam dalam kesedihan itu. Anne sekarang udah punya kehidupan sendiri di atas sana, di surga. Dia udah bahagia. Tapi Ran, kamu masih punya kehidupanmu sendiri di sini.... bersama kita”

Aku terdiam, berusaha mencerna kata-kata mereka. Apa yang dikatakan mereka benar. Rasa sedih akibat kehilangan Anne telah membuat mata dan hatiku tidak dapat menyadari keberadaan dari teman-temanku yang lain. Air mataku yang selalu mengalir seolah menutupi keberadaan mereka.

“Maaf.... Maafkan aku...... teman-teman”, kataku pelan.

Alice langsung maju dan memelukku. Christ mengusap-usap kepalaku dengan tangannya yang besar. Ternyata seperti ini rasanya berada di antara teman-teman. Hangat dan nyaman....

**********************************************************************************


Jam masih menunjukkan pukul 06.15. Masih terlalu pagi. Koridor yang biasanya dipadati murid-murid tampak lenggang. Suasana yang jarang kulihat karena biasanya aku selalu nyaris telat. Aku membuka pintu kelas dan meletakkan tasku di atas meja dekat jendela. Kursi di sebelahku masih kosong, tapi itu nggak akan berlangsung lama. Beberapa menit kemudian, pintu kembali terbuka dan Christ masuk dengan headset menempel di telinganya. Dia berjalan mendekati mejaku.

“Boleh duduk di sini?”, tanya Christ.

Aku tersenyum dan mengangguk. Christ meletakkan tasnya dan duduk di sebelahku. Kursi ini sekarang udah nggak kosong lagi. Alice, Elisa, Christ, dan teman sekelas bergantian duduk di kursi Anne. Ternyata emang lebih menyenangkan kalo kursi di sebelahmu nggak dibiarkan kosong.

“Ran, dengerin nih”

Christ mengulurkan salah satu headsetnya kepadaku. Aku memasang benda itu di telingaku. Suara seorang penyanyi legendaris yang melantunkan sebuah lagu dengan lembut memenuhi pendengaranku. Bibirku spontan membentuk sebuah senyuman saat mendengar liriknya. Christ ikut tersenyum bersamaku.

“You are not alone... Cause I am here with you...”

Benar... Aku udah nggak sendirian lagi. Aku punya banyak teman sekarang.






Lots of thanks to my beloved besties, Edvanne Hartanto
You’re the first
You’ll always live in my heart

The Wish : Mentari Menari

Menari...

Hanya itu yang diinginkan oleh Cantika Mentari. Cuma satu hal itu yang ingin dilakukannya di sisa waktunya yang semakin menipis. Dokter memvonis bahwa waktunya tinggal 1 bulan. 1 bulan untuk menghirup oksigen di dunia ini. 1 bulan untuk tertawa bersama sahabat-sahabatnya. 1 bulan untuk menari.... dan yang diinginkannya bukan sekadar menari....

Sebelum aku bercerita lebih jauh, aku perkenalkan dulu siapa Cantika Mentari ini. Dia adalah sahabatku. Aku biasa memanggilnya dengan nama Mentari. Umurnya 19 tahun. Sahabatku ini dikaruniai wajah yang cantik, tubuh yang bagus, dan bakat menari yang sangat menakjubkan. Sayangnya, selama ini Mentari menggunakan bakatnya itu untuk menghangatkan malam di sejumlah tempat clubbing.

Aku mengenalnya karena dulu dia pernah pacaran dengan temanku. Saat putus, dia sempat curhat denganku dan akhirnya kita malah jadi sahabat. Karena dia sering curhat, aku jadi tau kehidupan pribadinya.

Mentari adalah putri dari seorang wanita tuna susila- bahkan dia juga wanita seperti itu. Dia nggak pernah tau siapa ayah biologisnya. Sejak kecil dia dibesarkan di wilayah lokalisasi. Sex, obat-obatan terlarang, dan kekerasan sudah akrab dengannya sejak dulu. Aku sering berusaha mengajaknya ke gereja agar dia mengenal Tuhan, tapi Mentari selalu menolaknya.

Setahun yang lalu, Mentari menghilang. Aku benar-benar lost contact dengannya. Beberapa temannya yang kukenal tidak ada yang tau di mana dia berada. Setelah beberapa bulan mencarinya, akhirnya aku menyerah dan hanya membawa dia dalam doa-doaku tiap pagi.
Hingga seminggu yang lalu, seseorang mengetuk pintu rumahku. Dia, Mentari, datang lagi ke hadapanku setelah setahun menghilang. Tapi penampilannya kini telah berubah. Jika dulu dia memiliki tubuh yang indah, kini dia lebih terlihat seperti tulang berjalan. Matanya cekung dan menghitam. Rambutnya yang lebat sekarang menipis.

“Kamu... kamu kenapa, Mentari?”

Dia tersenyum sendu. Lalu dia menceritakan apa yang terjadi padanya tahun lalu. Ternyata, dia divonis oleh dokter bahwa dia positif terkena AIDS dan umurnya mungkin tidak panjang lagi. Mentari memutuskan untuk pergi hingga akhirnya pagi ini dia kembali lagi ke sini.

“Bisa temani aku ke gereja?” pinta Mentari di akhir ceritanya.

Aku langsung mengangguk dan menghapus air mataku. Kebetulan hari itu hari Minggu. Sore harinya, kami berdua langsung pergi ke gerejaku. Mentari tampak bersemangat sepulang dari gereja. Seperti ada sinar kehidupan yang terpancar lagi di kedua matanya.

“Ternyata ke gereja itu ngebuat perasaan jadi enak ya. Seperti... seperti ada suatu beban di hati yang keangkat”, ujar Mentari sambil tersenyum lebar.

Melihatnya tersenyum benar-benar membuatku bahagia. Aku sudah lama tidak melihat senyumannya. Mentari bersenandung kecil, menyenandungkan sepenggal dari lagu yang tadi dinyanyikan di gereja. Mendadak dia berhenti dan mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.

“Eh, mungkin nggak ya, aku menari di..... gerejamu?”


************************************************************************************


Aku menatap pendeta Johan dengan jengkel. Beliau masih juga kukuh dengan pendiriannya. Aku benar-benar nggak tau lagi gimana harus mengubah pikiran beliau.

“Pak, benar-benar tidak bisa ya?” tanyaku lagi
“Iya. Saya kan sudah bilang dari awal”

Sudah dua minggu ini aku berusaha meyakinkan pendeta Johan agar mengizinkan Mentari menari di gereja. Sayangnya, beliau mengatakan “tidak” dari pertama kali dengan alasan-alasan yang menurutku tidak masuk akal.

“Tapi, kenapa Pak?”
“Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, gereja memiliki peraturan bahwa siapa pun yang mengambil bagian dalam pelayanan di mimbar harus sudah baptis dan aktif dalam kegiatan gereja minimal selama 3 bulan. Saya rasa worship leader seperti anda mengerti hal seperti itu”
“Tapi Pak, ini permintaan dari seseorang yang mungkin hidupnya udah nggak lama lagi...”, pintaku.

Pendeta Johan terdiam dan menatap ke bawah. Aku sudah ditolak berkali-kali oleh beliau, tapi kata-kata Mentari membuatku terus semangat untuk berusaha mendapatkan kata “ya” dari pendeta Johan.

“Aku udah diberi talenta menari oleh Tuhan, tapi aku nggak pernah menggunakannya buat Tuhan. Karena itu, aku pengen sekaliiii aja bisa menari buat Dia di gereja”

Itu yang diucapkan oleh Mentari. Aku benar-benar tersentuh dengan perkataannya. Sayang, pendeta Johan masih belum menurunkan izin. Padahal, Mentari sudah semakin melemah, bahkan saat ini dia sedang dirawat di rumah sakit.

“Sebenarnya, saya berat untuk memberi izin karena dia adalah seorang PSK”, kata pendeta Johan memecah kesunyian.
“Hah?! Pak, dia sudah berhenti dari pekerjaannya! Lagipula, dia benar-benar ingin menari buat Tuhan, pak.... buat Tuhan.... Sebagai seorang WL, saya tahu dia mempunyai hati yang benar-benar tulus ingin melayani Tuhan”

Beliau hanya diam, seolah menganggap perkataanku hanya angin lalu. Aku benar-benar terkejut dengan pendeta Johan. Nggak pernah kusangka dia punya pemikiran seperti itu

“Bapak ingin menghalangi seseorang yang begitu ingin mempersembahkan sesuatu untuk Tuhan?” lanjutku.

Masih tak ada jawaban. Pendeta Johan tetap terdiam.


************************************************************************************


“Mentari, udah siap? Klo udah,doa bareng dulu bareng yang lain yuk”

Mentari tersenyum dan mengikutiku ke tempat pemusik dan singer berkumpul. Mentari akhirnya diizinkan menari di gereja. Perjuanganku ternyata nggak sia-sia. Pendeta Johan yang terhormat menurunkan izinnya. Mentari diizinkan menari setelah khotbah selesai. Aku dan teman-teman petugas mimbar yang lain langsung blingsatan menyunsun jadwal latihan untuk Mentari. Secara ajaib, kesehatan Mentari membaik dan dia memaksa para dokter agar diperbolehkan pulang. Tapi dia tetap tidak boleh pulang. Dokter hanya mengizinkan Mentari meninggalkan rumah sakit untuk latihan dan menari di hari H-nya.

Karena izin keluar yang terbatas, kami hanya sempat latihan bersama satu kali. Tapi yang satu kali itu sudah cukup untuk membuat teman-teman gerejaku jadi bersimpati dan kagum padanya. Bukan hanya karena bakatnya, tapi juga karena hatinya benar-benar tulus mau menari buat Tuhan

Kami berdoa bersama. Setelah berdoa, aku mengantar dia duduk di bangku bagian depan dan kembali lagi ke mimbar karena aku yang menjadi WL minggu ini. Rasanya agak grogi juga jadi WL di depan Mentari.

Dua jam berlalu. Pendeta sudah mengakhiri khotbahnya. Akhirnya tiba juga saatnya Mentari menari. Menari untuk Tuhan yang menciptakannya. Mentari maju ke mimbar dan meminjam microphone yang kupegang.

“Shalom, saudara-saudara yang terkasih dalam Tuhan. Saya akan mempersembahkan sebuah tarian. Ngg... sebelumnya mungkin saudara-saudara mayoritas tidak mengenal saya, jadi, saya akan memperkenalkan diri saya sedikit”, kata Mentari sambil tersenyum.

“Nama saya Cantika Mentari . Saya biasa dipanggil Mentari. Dulu, saya adalah seorang sexy dancer sekaligus seorang..... wanita tuna susila. Sampai setahun yang lalu saya divonis menderita sebuah penyakit yang hingga sekarang belum ada obatnya”

Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Aku tau Mentari adalah seorang wanita yang sering bicara blak-blakan, tapi aku tidak pernah menyangka dia akan mengatakan semua itu di depan jemaat yang jumlahnya nggak sedikit ini. Sejenak aku mengira jemaat akan bereaksi heboh, tapi ternyata tidak. Mereka tetap diam dan mendengarkan dia.

“Sejak mengetahui bahwa saya menderita penyakit itu, saya jadi ingin melakukan yang terbaik untuk Tuhan. Memang sih, saya sedikit terlambat karena baru menyadarinya setelah sakit. Tapi, better late than never kan? Semoga tarian saya bisa menjadi berkat bagi saudara-saudara. Terima kasih.”

Mentari mengakhiri perkenalan singkatnya dan mengembalikan microphone. Terdengar jemaat bertepuk tangan untuknya. Mentari tersenyum dan berjalan ke tengah mimbar. Aku terharu menatap sosoknya yang kini terlihat rapuh itu bersiap untuk menari.

Pemain musik memainkan intro. Badan Mentari mulai bergerak seirama dengan musik yang lembut. Aku membuka mulut dan menyanyi mengiringinya tariannya.

Yesus, kurindu akan kasihMu
Yesus, kuhaus akan firmanMu
Kaulah Allahku dan pemberi berkatku
Puji syukur

Mentari menari dengan sangat indah. Jemaat terpukau, tak berkedip melihat tariannya. Seolah ada semacam sinar yang melingkupi Mentari. Pandanganku mulai buram. Aku menyanyikan refrain dengan suara yang sedikit bergetar karena terharu melihat seseorang begitu bersungguh-sungguh yang menggunakan tubuh rapuhnya untuk menari.

FirmanMu sungguh indah
FirmanMu tak berubah
Dulu skarang, sampai selamanya

Gerakan Mentari melambat. Wajahnya terlihat semakin pucat. Aku mati-matian menahan diriku untuk tidak mendekatinya dan berhenti menyanyi karena dia memintaku untuk menyelesaikan lagunya apapun yang terjadi.

dan kasihMu tak terbatas
Abadi selamanya

Mentari mendadak bersimpuh. Itu tidak ada dalam koreografi tariannya. Aku tau tubuhnya melemah. Aku menyanyikan bait terakhir dengan air mata mengalir

Terima kasih, Yesus Kristus Tuhan

Lagu berakhir....
Dan Mentari tidak pernah membuka mata lagi




Mentari menari....
untuk Tuhan....
di surga

Kamis, 03 Juni 2010

I Did It Again!

This is the third time...
Ini yang ketiga kalinya....

SAYA MENGHANCURKAN BLOG SAYA LAGI
hueeeee T_T

yaah saya akui saya ini gaptek
Ngebuat blog aja nggak pernah bener T_T
sebelumnya, aku tuh udah 3 bulan ngeblog di blog Welcome to My World
tapi tapi tapi.....
hari ini aku ngancurin blog itu
karena nggak tau gimana cara ngebenerinnya, aku ngebuat blog lagi

err....
ada yang tau gimana cara ngebenerin settingan template?

Selasa, 01 Juni 2010

A Letter to A Friend Above

Dear, Fanny

Hai, Fan, sudah lama tidak berjumpa ya. Bagaimana kabarmu di sana? Aku sekeluarga di sini baik-baik saja. Semoga kamu di sana juga baik-baik saja.

Hahaha. Silly opening sentences, huh? Soooo childish. Just like a primary student’s letter. I bet you’re laughing now ^^

Anyway, I really miss you, . Udah 7 taon ya? 7 taon itu kerasa banget lho... =(

Inget nggak Fan, waktu pertama kita ketemu pertama kali?
Hari itu,mamamu main ke rumahku. Dia bilang dia bawa temen buat aku. Aku yang lagi bangun tidur jalan keluar rumah –sambil masih setengah tidur- dan ngeliat kamu yang berdiri malu-malu di samping sepeda motor. Kesan pertamaku “ni anak pasti ngebosenin”. A bad first impression ==V.

Sorry Fan, tapi emang itu kesan pertamaku ke kamu. Hari itu, aku sama sekali nggak berminat kenalan sama kamu. Makanya, aku nggak banyak ngajak kamu ngobrol. Mungkin waktu itu kamu nganggap aku sombong ya? Maaf deh... Hehe

Tiga bulan setelah itu, keluargaku pindah ke deket rumahmu. Kita ketemu lagi waktu pemberkatan rumah.

Hai Nik”
“Eh ada Fanny. Wah kita tetanggaan ya?”
“Iya. Bisa maen tiap hari nih”

Aku cuma ketawa buat nanggepin kata-kata kamu dan pamit buat ngumpul bareng tetangga lama aku. Waktu itu, aku masih nggak berminat buat jadi temen kamu. Males. Aku lebih suka main sama yang laen. Kamu ngerasa nggak waktu aku ngomong sama kamu, mataku jelalatan kemana-mana? Itu gara-gara aku bosan ngobrol sama kamu. Yeah, the second impression was worse than the first...

Tapiiii... setelah itu kita malah jadi deket banget ya. Semua karena sebuah mainan bernama scooter. Waktu mainan itu lagi bener-bener in, aku pengen banget punya mainan itu. Sayangnya ortuku nggak mau beliin. Terus, aku denger kalau kamu udah punya. Akhirnya nyaris tiap hari aku main ke rumahmu buat main bareng. Satu kejadian yang masih jelas banget di ingatanku tuh saat kamu datang ke rumahku sore-sore sambil ngebawa tuh scooter.

Nik, scooternya biar di sini aja ya? Kan rumahmu halamannya lebih besar, jadi maennya lebih enak. Boleh ya?”

Tentu aja waktu itu aku langsung ngijinin. Belakangan aku baru tau kalau kamu sebenernya sengaja “titip” scooter di rumahku karena kamu tau kalau aku suka banget sama mainan itu. Jadi kamu “titip” itu di rumahku biar aku bisa puas mainnya. Padahal semua juga tau kalau kamu juga suka main itu. Ckckck... Kecil-kecil kamu udah mau berkorban buat temen ya, Fan. Thanks friend... Terharuu saiaaa...

Fan, kamu masih inget nggak, dulu kita sering ngerebutin Sandy, adik cowok kamu yang imut banget. Kita sering banget rebutan jadi kakak buat dia.

“Sandy kan keluar dari perut mamaku, jadi dia adikku dong”
“Nggak bisa gitu, Fan. Pokoknya Sandy adik aku!

Hahaha. Sering banget ya kita berantem kayak gitu. Tapi setelah Sandy besar, kita malah nggak ngakuin dia sebagai adik lagi gara-gara tingkah lakunya yang jadi amit alias super duper nakal. Kita mau enaknya aja nih ^^V

Sekarang adikmu udah nambah 1 lagi lho, Fan. Namanya Joshu. Dia lebih imut dari Sandy. Saking imutnya, dia sampe dikira cewek sama orang-orang. Kalau kamu ada di sini, kita pasti rebutan lagi Fan..

Hhhh.... Aku kangen banget sama kamu, Fan. Kangen sama suara cempreng kamu –yang tambah cempreng kalau lagi tereak “PINK RANGER!!!”- Aku rasanya pengen balik lagi ke saat-saat di mana kita biasa main bareng. Pengen main ayunan abis hujan lagi, pengen ngebuat makanan bareng lagi. Mini frying pan yang waktu itu kita beli baru sempet dipake sekali loh. Katanya dulu kamu mau pake itu buat masak makanan bareng tiap minggu di rumah aku, tapi.....

Fan, kamu pergi terlalu cepat. Kamu nggak ngasih aku kesempatan buat nengok kamu di rumah sakit. Bahkan aku nggak sempet ngomong sama kamu walau cuma lewat telepon. Malam itu, mama ngebangunin aku yang lagi tidur sambil ngomong, “Fanny udah nggak ada, Nik”

Aku cuma bisa nangis waktu denger kabar itu. Aku nggak bisa balikin kamu ke sini lagi. Aku udah nggak bisa liat senyum kamu lagi... =’(

Saat itu aku bener-bener nyesel, Fan. I had made a big mistake to you and haven’t said sorry. Lima taon stelah itu, aku nangis terus kalau ingat kamu. Yang keluar dalam kepalaku tuh rasa bersalah gara-gara belom sempet minta maaf ke kamu. Aku nggak bisa ingat saat-saat yang nyenengin bareng kamu. Aku baru nyadar kamu tuh seorang sahabat yang berarti banget buat aku. Sahabat yang sayangnya sempet kubuang dalam kebodohanku. Ironisnya, aku baru nyadarin hal itu setelah kamu nggak ada.
Udah telat.
I’m pathetic, right?

Sampai akhirnya, kamu “datang” di depanku 1 taon yang lalu. -. Orang mungkin akan menganggap ini cuma halusinasiku aja, tapi ini nyata- Aku sempet bengong waktu ngeliat kamu. Tanpa ngomong apa-apa, kamu langsung meluk aku.

“Maaf Fan.. Aku bener-bener minta maaf...”

Aku cuma sanggup ngomong itu sama nangis. Kamu tersenyum sekali lagi sama aku sebelum akhirnya menghilang.

“Nggak perlu minta maaf lagi. Aku udah maafin kamu dari dulu koq. Aku nggak marah sama kamu, Nik”, aku ngerasa kamu ngomong kayak gitu ke aku.

You teached me that we must forgive people’s mistakes to us because God always forgives us. And you did it to me. Million thanks for forgiving me, Fan =)

Kalau sekarang orang tanya gimana pendapatku tentang kamu, aku bakal jawab kalau kamu itu malaikat. Seneng kan kamu? ^^ Iya, kamu malaikat. Fan. Malaikat yang dipinjamkan Tuhan buat mengubah hidup banyak orang. Sayangnya, waktu peminjaman itu abis 7 taon yang lalu.

Kamu mengajari ortumu buat slalu bersyukur atas smua yang terjadi dalam hidup ini. Walaupun waktumu sangat singkat, tapi kamu udah ninggalin teladan yang baik buat Sandy. Aku juga belajar buat selalu ngejaga perkataanku dari kamu. Yang paling penting, aku belajar untuk tidak menyia-nyiakan teman. Masih banyak lagi sih hal-hal baik yang kamu tinggalkan. Capek ngetiknya satu-satu. Hehe

Hebatnya, kamu nggak pernah mengguruiku atau orang laen. Kamu nggak pernah bilang, ”Ini yang bener. Kamu harus kayak gini’. Nggak pernah kedengeran nada menghakimi dari suaramu. Yah.. mungkin itu hal yang sulit kutiru darimu, Fan ==V

Sekilas kamu emang keliatan seperti seorang anak biasa. Tapi, kalau mengenalmu sedikit lebih lama aja, pasti semua bakal setuju kalu kamu bukan seorang anak biasa. A wise girl that teaches from her act, that’s more suitable to describe you ^^b

Udahan ah nulis suratnya. Pegel ngetik mulu, Fan. Hehe. Lagian, kalau aku puji kamu lagi, ntar kepala kamu jadi tambah besaaaaar.

Finnaly, thanks for everything, Fan. You’re my teacher, my weird-pink-ranger, my beloved sister, and.... my ever best friend.


Brave-red-ranger